Humaniora Volume XIII, No. 3/240 2001 SASTRA DAN PERKEMBANGAN POLITIK DI JAWA ABAD XVIII Alex Sudewa* * Doktor, staf pengajar Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 1. Latar Belakang dan Masalah oetmulder (1983 : 182 ) di dalam bukunya Kalangwan, yang membuai karena datanya yang lengkap dan bahasanya yang indah dan menarik, mengajak pembacanya bertamasya menelusuri taman keindahan sastra Jawa Kuna. Secara tidak terasa, pembaca diajak menelusuri dunia sastra budaya Jawa Kuna secara menyeluruh. Di sela-sela panduan wisata sastranya itu, sang mahaguru kerapkali menyisipkan tantangan yang halus menggelitik agar pembacanya tertarik kepada masalah sejarah sastra yang belum terpecahkan. Salah satu masalah yang dirumuskannya ialah di antara syair-syair Jawa Kuna yang diselamatkan bagi kita tak ada satu pun yang dapat membanggakan seorang raja atau pangeran sebagai penciptanya, berlainan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu dari periode Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19) yang dapat menunjukkan raja-raja di antara para penyairnya seperti Pakubuwana III dan IV serta Mangkunegara IV. Bagi para peminat sastra Jawa, karyakarya sastra Jawa Baru yang dikaitkan dengan raja, pujangga kraton, ataupun elite kerajaan yang lain dianggap sebagai sesuatu yang wajar, yang sudah seharusnya terjadi di alam tradisional yang kraton sentris. Ungkapan Zoetmulder seperti terkutip di atas menyadarkan kita bahwa gejala kraton sentris di dalam kegiatan sastra zaman Surakarta merupakan suatu perkembangan baru dalam perjalanan sejarah sastra budaya Jawa. Apabila di alam Jawa Kuna tugas seorang kawi adalah membangun kekuasaan raja di bidang sastra sehingga seorang kawi berfungsi sebagai seorang pendeta magi sastra (Zoetmulder, 1983:196-200), hal itu berarti bahwa di alam budaya Jawa Kuna terpilah dua macam kekuasaan: kekuasaan militer politik yang ada di tangan raja, kekuasaan intelektual religius yang ada di tangan para literati, yang disebut kawi. Kekuasaan militer politik dalam diri seorang raja perlu didukung kekuasaan intelek religius dari para kawi. Tampilnya tokoh raja atau kerabat kraton sebagai penulis karya sastra berarti bahwa kewibawaan para pujangga yang di zaman Jawa Kuna bertindak sebagai pendeta magi bahasa, yang dibutuhkan untuk mendukung kewibawaan raja, telah didesak bahkan direbut oleh kekuasaan militer politik kraton. Dengan demikian, kraton telah merupakan pemusatan kekuasaan militer politik dan kekuasaan intelektual religius. Sudah barang tentu perkembangan semacam itu, selain timbulnya didorong oleh suatu sebab yang signifikan di dalam sejarah budaya Jawa, akan juga besar pengaruhnya di dalam perkembangan kehidupan sosial budaya di masa yang akan datang, Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Pemusatan dua macam kekuasaan itu dalam diri raja ? kraton ? perlu dilacak; faktor-faktor yang menjadi pendorongnya serta bagaimana proses terjadinya. 2. Tinjauan Kepustakaan Dari kemajuan penelitian sastra Jawa dua dekade terakhir ini, telah terungkap Z Sastra dan Perkembangan Politik di Jawa Abad XVIII Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 241 bahwa raja-raja yang tampil sebagai pujangga tidaklah terbatas pada zaman Surakarta seperti dikemukakan oleh Zoetmulder. Dari Kraton Yogyakarta, ternyata pena Hamengku Buwana II ketika masih berstatus putra mahkota telah menggoreskan kepujanggaannya dengan karyanya Serat Suryaraja dan pena Raden Tumenggung Jayengrat, seorang menantu raja Hamengku Buwana I, menghasilkan Babad Kraton yang fungsinya di dalam perjalanan sejarah sastra Jawa tidak dapat diabaikan begitu saja (Ricklefs, 1974:176-226). Pada zaman sehabis Perang Dipanegara, tampak Sultan Hamengku Buwana V, VI, dan VII membangun kembali khazanah sastra kraton (Girardet, 1983: 645-705; Behrend, 1993: 416-420) yang hancur, bukan saja akibat perang yang melanda sebagian besar Jawa Tengah, melainkan juga akibat dijarah oleh pasukan Inggris yang menyerbu kraton pada dekade sebelumnya (Carey, 1983: 37). Namun, banyaknya karya sastra hasil pena raja dari zaman Surakarta ? Yogyakarta bukanlah data yang tepat untuk melacak proses terdesaknya kaum pujangga sehingga pena mereka diambil alih oleh raja dan kerabat kraton sebagai penguasa politik dan militer karena ada faktor-faktor khusus yang terjadi pada zaman ini. Sejak masa-masa awal terbelahnya Kerajaan Mataram pada tahun 1755 menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, para elite politik dari kedua belah pihak mengaku sebagai keturunan sah dinasti Kartasura ketika Kerajaan Mataram masih utuh, belum terbelah. Usaha legitimasi tidak dapat lagi dilakukan di bidang militer dan politik karena bidang ini telah berada di tangan Belanda; perebutan legitimasi hanya dapat dilakukan di medan politik kebudayaan. Dengan gamblang, Ricklefs (1974:213-218) mengungkapkan bahwa Babad Kraton digubah untuk melegitimasi Kraton Yogyakarta sebagai ahli waris Kraton Kartasura. Tentang pihak Surakarta, yaitu Pakubuwana III, Wiryamartana (1990: 402-409) telah pula mengungkapkan usaha raja ini di dalam mewariskan sastra budaya Jawa Kuna, Arjunawiwaha tradisi Kartasura bagi masyarakat sezamannya. Politik kebudayaan, yang tercetus pada masa awal terpecahnya Kraton Mataram, mewarnai perkembangan sastra budaya Jawa pada masa kemudian. Perkembangan dialektik antara Kraton Surakarta dan Yogyakarta mewarnai perjalanan sejarah sastra budaya Jawa. Sampai masa kini pun berbagai kehidupan budaya ? seperti gaya pakaian tradisional, upacara, gaya keris, wayang, tari, bahasa, bahkan makanan ? masih merasakan jejak -jejak kompetisi budaya antara kedua kraton itu (Soedarsono, 1985; Groenendael 1985). Dalam perkembangan dialektis semacam itu, sudah barang tentu raja dan kerabat kraton dari kedua belah pihak terpacu guna memproduksi karya sastra untuk menunjukkan kewibawaannya di bidang kehidupan budaya. Kedekatan kedua kraton dengan bangsa Belanda juga merupakan sebuah faktor penting di dalam kegiatan sastra para elite kraton. Alat tulis seperti kertas, mistar, tinta, tinta berwarna dan tint a emas, sampul dan penjilidan akan tersedia dalam jumlah yang memadai untuk keperluan tulis menulis pada umumnya, dan khususnya bagi pengembangan kegiatan sastra. Di samping itu, perhatian pihak Belanda untuk penelitian sastra dan budaya Jawa ? untuk mendukung sistem kolonial agar makin efektif ? bukan hanya merupakan dorongan, bahkan merupakan fasilitator bagi kaum elite kraton untuk meningkatkan kegiatan mereka di bidang sastra (Behrend, 1993:427-432). Ketiga faktor sosial yang terjadi pada zaman Surakarta ? Yogyakarta ini mendorong raja dan elite kraton untuk bertindak sebagai pujangga dan pencipta seni budaya. Pemicu, yang menyebabkan tampilnya raja dan elite kraton untuk memanfaatkan karya sastra guna memperlihatkan kewibawaan dirinya, perlu dicari pada zaman sebelumnya ialah pada zaman ketika kraton masih utuh, ketika alat tulis menulis masih diproduksi secara tradisional, dan ketika di kraton belum muncul peneliti-peneliti asing yang mendorong kegiatan sastra. Kondisi kebudayaan semacam ini ada pada zaman Kartasura, ketika Mataram belum terpecah. 3. Data Sastra Sayang bahwa Kraton Kartasura sejak berdirinya telah penuh dengan huru-hara. Dua kali, ialah tahun 1704 dan tahun 1740, kraton ini dilanda perang besar. Dalam kerusuhan yang melanda kraton ini, bahkan Alex Sudewa 242 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 pusaka kerajaan hilang dibawa lari oleh Mangkurat III ketika kraton diserang oleh pasukan Belanda. Tidaklah mengherankan bahwa ada kelangkaan karya sastra dari zaman ini yang dapat terwariskan sampai kini. Para kolektor bangsa Barat seperti Thomas Stamford Raffles, John Crawfurd, JFC Gericke, Taco Roorda, serta Museum Ethnografi di Delft yang mengumpulkan koleksinya dari lingkungan elite kraton hanya berhasil mendapatkan 150 naskah yang berasal dari zaman sebelum Perang Dipanegara, yang kesemuanya berasal dari zaman sesudah tahun 1778 A.D., artinya 25 tahun setelah pembagian Kerajaan Mataram (Ricklefs, 1974: 220-221). Hal ini berarti bahwa pada waktu para kolektor itu melakukan kegiatannya, sudah tidak ada naskah-naskah dari zaman Kartasura yang berada di tangan ahli warisnya. Ketika koleksi naskah dari keempat kraton ahli waris tahta Mataram (Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegara, Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Pakualaman) dicatat dalam katalog oleh Girardet tahun 1983, ternyata keempat kraton itu tidak menyimpan naskah dari zaman Kartasura.1 Mengingat perjalanan sejarah Kraton Kartasura yang penuh konflik dan perubahan sosial politik ekonomi, tidaklah mengherankan apabila akhirnya beberapa buah naskah asal Kraton Kartasura ditemukan telah berbaur dengan naskah dari masyarakat luar kraton. Pada koleksi naskah di Museum Radya Pustaka, ada naskah Serat Yusuf (nomor 261), Serat Iskandar (nomor 262), dan Ngusulbiyat (nomor 260); pada Museum Pusat (sekarang Perpustakaan Nasional) ada naskah Serat Menak (nomor BG 613). Keempat naskah itu menarik, selain karena dalam kondisi yang bagus, juga karena bentuk tulisan yang ngetumbar (gaya bulat) dan kompak, dengan hiasan yang indah dengan tinta emas pada halaman depan dan halaman belakangnya, serta pada setiap pergantian pupuh dan pada-nya. Bahwa keempat naskah ini berasal dari kraton, terbukti dari disebutnya Ratu Mas Balitar, permaisuri raja Pakubuwana I, sebagai pemilik dan pemberi perintah penulisan (Poerbatjaraka, 1940: 9; Sudewa, 1995: 2). Kedua hal itu menunjukkan bahwa keempat naskah semula naskah penting milik kraton yang karena zaman huru-hara jatuh ke tangan orang kebanyakan dan berbaur dengan naskah luar kraton sebelum akhirnya dipungut oleh para kolektor. Selain keempat naskah itu, masih ada satu naskah lagi asal zaman Kartasura yang tersimpan di Universitas Leiden, bernomor NBS 95 berjudul Dharma Sunya Keling. Naskah ini digoreskan pada kertas Eropa bersampul kertas gendong dan berisi uraian filsafat mistik Siwa-Budha dan ditulis oleh Pangeran Dipanegara, putra Pakubuwana I dari garwa selir, pada tahun 1716 bulan November (Pigeaud, 1986 II: 739).2 Oleh para peneliti sastra, zaman Kartasura dianggap sebagai zaman kegelapan yang mendahului zaman kebangkitan sas - tra Jawa di zaman Surakarta pada pergantian abad 18 / 19 (Pigeaud, 1967: 236; Drewes, 1974: 199-201). Berkat kemajuan penelitian di bidang sejarah, terutama studi Ricklefs (1992) dan Remmelink (1990), zaman yang oleh masyarakat Jawa masa kini hampir dilupakan ini, berhasil dimunculkan kembali sebagai zaman yang penuh dengan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat akibat campur tangan persekutuan dagang Belanda, VOC. 4. Latar Belakang Sejarah 3 Kraton Kartasura terletak di pedalaman Jawa Tengah dan merupakan pusat Kerajaan Mataram yang semula berada di Plered, dekat Yogyakarta. Meskipun terletak di pedalaman, daerah ini masih meninggalkan jejak kebesaran budaya Jawa Hindu yang berupa berbagai bangunan candi, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Jejak kebesaran budaya Jawa Hindu ini pada hakikatnya merupakan cermin keberhasilan pemerintah kerajaan di dalam memadukan potensi maritim Laut Jawa dan kesuburan tanah agraris berkat adanya gunung berapi (Hall, 1955: 46-50). Kekuatan militer politik yang berada di tangan raja dan kerabat kraton dapat bekerja terpadu dengan kewibawaan religius yang ada di tangan para pendeta dan pujangga sehingga pemerintahan kerajaan dapat menyatupadukan potensi dari berbagai daerah. Konsep hierarki masyarakat menurut paham budaya Jawa Hindu dapat menciptakan stabilitas politik sehingga masyarakat mencapai kehidupan Sastra dan Perkembangan Politik di Jawa Abad XVIII Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 243 budaya yang meninggalkan jejak -jejak kemegahan berupa bangunan-bangunan candi. Berbagai karya sastra Jawa Kuna dari abad XIV di zaman Majapahit juga mencerminkan terpadunya kegiatan dagang maritim dengan kesuburan agraris di pedalaman (Robson, 1981: 259-293). Stabilitas politik, dengan latar belakang budaya dan filsafat Jawa Hindu dengan pelapisan masyarakat yang ketat, rupa-rupanya mulai goyah pada akhir zaman Majapahit. Ketika itu di masyarakat luas beredar berbagai karya sasta, antara lain Siwaratrikalpa (Teeuw, dkk., 1969) dan Nitisastra (Poerbatjaraka, 1933) yang mengajarkan bahwa nilai seorang individu terletak pada pengetahuan yang dimilikinya, dan perbuatan dalam hidupnya. Kesadaran kemandirian individu di tengah alam kehidupan budaya Jawa Hindu ini akan semakin tersebar dan dihayati masyarakat dengan kedatangan agama Islam dalam bentuk aliran tasawuf. Dengan kesadaran akan kemandirian individu ini, dalam diri para elite cendekiawan dan rohaniwan tumbuh keyakinannya untuk mencetuskan pendapat dan ajaran hidup yang mandiri; sedang dalam diri para elite penguasa timbul kesadaran untuk memimpin secara mandiri sesuai dengan kebutuhan pengikutnya. Dengan semangat semacam itu timbullah di Jawa ? dan juga di seluruh Nusantara pada umumnya ? selain kebhinekaan di bidang penghayatan agama, juga kebhinekaan dalam kepemimpinan lokal. Timbullah negara-negara Islam yang masingmasing berbeda dalam penghayatan agamanya (de Graaf dan Pigeaud, 1983; 1986). Rupa-rupanya para pembangun dinasti Mataram yang memusatkan kekuasaannya di daerah pedalaman Jawa Tengah ? daerah yang penuh dengan puing-puing tempat suci Jawa Hindu dan kemungkinan masih hidup pertapaan-pertapaan yang berpengaruh ? berjuang keras untuk menghidupkan lagi politik perpaduan kekuasaan maritim dan potensi kesuburan pedalaman. Karena bidang kehidupan budaya tidak lagi memberikan peluang untuk membangun persatuan dan perpaduan itu, perjuangan itu disandarkan pada kekuatan politik militer. Raja pertama dinasti Mataram ini menggelari dirinya Senapati ing Ngalaga (pemimpin di medan laga) sebagai cerminan bahwa politik kerajaan akan berlandaskan ekspansi militer; selama pemerintahannya, raja ini benar-benar melaksanakan cita-citanya dengan rangkaian penaklukannya ke arah pantai utara. Politik penaklukan yang sama, untuk memadukan kekuatan dagang dan pertanian, juga dilakukan oleh keturunannya, Sultan Agung, dengan ekspedisinya ke pantai utara yang lebih menyeluruh karena ancaman dominasi asing, ialah persekutuan dagang Belanda, VOC. Raja yang paling berwibawa dari dinasti Mataram ini ruparupanya menyadari bahwa persatuan tidak mungkin dicapai hanya dengan kekuatan militer belaka. Selain gelar Senapati ing Ngalaga, ia juga menggelari dirinya Ngabdul Rahman (hamba Sang Maha Penyayang) dan Anyakrakusuma (pusat para pemimpin masyarakat) sebagai pertanda bahwa ia juga hendak bergerak di bidang spiritual. Selain ekspansi militer, Sultan Agung juga melakukan tindakan di bidang budaya dengan memberlakukan Tarikh Jawa yang merupakan gabungan antara Tarikh Islam dan Tarikh Saka, serta mendirikan musoleum bagi dirinya dan raja-raja keturunannya yang merupakan perpaduan gaya Islam ?Jawa Hindu. Aksi militer yang dilakukan Sultan Agung untuk mempersatukan Pulau Jawa ternyata memberikan beban yang amat berat bagi ahli warisnya. Guna menjaga keutuhan kerajaan, Amangkurat I, putra Sultan Agung yang menggantikannya, bertindak sangat kejam. Pembunuhan yang dilakukan terhadap para santri secara besar-besaran mengundang permusuhan dengan Trunajaya, seorang bangsawan asal Madura. Pada dasarnya, para elite penguasa di Madura dijiwai semangat ingin bebas dari campur tangan Mataram. Dengan bantuan orang suci dari Tembayat, dan bersekongkol dengan putra mahkota yang bercita-cita mempersatukan kembali kerajaan yang terpecah belah oleh kekejaman ayahnya, Trunajaya berhasil menguasai daerah pantai dan Jawa Timur serta bermarkas di Kediri. Tahun 1677 Trunajaya menyerang istana Plered, raja melarikan diri ke arah barat; karena penderitaannya yang berat, ia meninggal dan dimakamkan di Tegalwangi, dekat kota Pantai Tegal. Alex Sudewa 244 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 Rupa-rupanya Amangkurat I ini sadar bahwa kelompok -kelompok agama merupakan rintangan untuk mempersatukan kerajaan. Ia menggelari diri Sayidin Panatagama, pemimpin iman, pengatur kehidupan agama, sebagai cetusan cita-citanya hendak mengatur kehidupan beragama.4 Setelah kematian raja di Tegalwangi, putra mahkota menobatkan diri sebagai raja dengan gelar Sayidin Panatagama juga, yang mencerminkan cita-citanya mempersatukan kelompok- kelompok agama meskipun dalam kenyataannya ia adalah raja yang tersingkir dari kratonnya. Musuhnya yang paling utama adalah bekas sahabat sekongkolnya, Trunajaya, yang juga menobatkan dirinya menjadi raja dengan kratonnya di Kediri dengan memakai gelar Panembahan. Amangkurat II menghubungi VOC dan dengan bantuan Belanda Kraton Kediri dihancurkan. Sebelum eksekusi, Trunajaya mohon kepada raja untuk memindahkan kratonnya ke Majapahit agar dengan demikian kraton tidak lagi berhubungan dengan para kafir Belanda. Permohonan dari seorang bangsawan pemberontak lewat surat kepada rajanya semacam itu mencerminkan bahwa di kalangan elite penguasa Jawa berkembang hasrat dan cita-cita agar raja benarbenar berperan sebagai Sayidin Panatagama yang bebas dari campur tangan kafir. Saran Trunajaya itu tidak mendapat tanggapan dari raja. Sebuah kraton baru dibangun di Kartasura dan persahabatan raja dengan Belanda semakin akrab. Politik raja, dengan demikian, bukan saja berbalikan dengan politik Sultan Agung yang berjuang keras mengusir VOC dari Pulau Jawa, tetapi juga bertentangan dengan kesadaran politik yang diwariskan turun-temurun di kalangan penguasa, ialah memadukan potensi dagang maritim dengan potensi kesuburan tanah agraris. Gelar raja, Sayidin Panatagama, pada hakikatnya merupakan janji raja hendak membangun kembali persatuan di dalam kebhinekaan kehidupan agama dengan mengusir kaum kafir Belanda. Usul agar kraton dipindahkan ke Majapahit mencerminkan bahwa sinkretisme Islam-Jawa Hindu bukanlah masalah dalam kebhinekaan kehidupan agama. Keakraban raja dengan VOC mengundang kritik tajam di kalangan para bangsawan. Penulis babad bahkan melukiskan raja ini bertingkah sebagai seorang jenderal Belanda, kadya gurnadur angejawi. Kubu anti- VOC berhasil membujuk raja agar bersekutu dengan pemberontak bekas budak asal Bali, Surapati, untuk melawan Belanda. Pemberontak ini berhasil membentuk laskar melawan Belanda, kemudian melarikan diri dari Batavia ke arah timur. Raja Amangkurat II bermaksud melindunginya. Batavia mengirimkan Kapten Tack, yang dahulu berhasil meringkus Trunajaya, ke Kraton Kartasura, untuk mengatasi keadaan dan menagih janji raja. Kedatangan Tack membuat raja terjepit di antara VOC dan para bangsawan anti-VOC. Pasukan Surapati dengan dibantu para bangsawan Jawa berhasil menghancurkan benteng VOC di Kartasura dan membunuh Tack. Bagi diri raja keadaan ini sangat tidak mengenakkan mengingat kraton dan tahtanya dibangun oleh VOC. Para bangsawan terpecah belah dan sementara itu kewibawaan Surapati di Jawa Timur makin meluas sehingga putra mahkota menjalin kerja sama dengan pemberontak. Ketika pada tahun 1704 raja wafat, putra mahkota naik tahta bergelar. Susuhunan Amangkurat Senapati ing Ngalaga, Ngabdurrahman, Sayidin Panatagama. Puger, paman putra mahkota dalam kubu politik pro-VOC, keluar dari kraton datang kepada VOC untuk minta dinobatkan sebagai raja, dengan imbalan akan memberi konsesi atas wilayah pantai utara kepada VOC. Raja ini mengambil nama Pakubuwana, dengan gelar sama Senapati ing Ngalaga, Ngabdurrahman, Sayidin Panatagama. Madura yang mencemaskan pengaruh Surapati di Jawa Timur bergabung dengan VOC dan Pakubuwana; ketiga kubu menyerang Kraton Kartasura, Amangkurat III lari bergabung dengan Surapati dengan membawa pusaka tanda kebesaran Kerajaan Mataram. Setelah Surapati terbunuh, Amangkurat III menyodorkan perdamaian kepada VOC untuk berunding, tetapi ditangkap dan dibuang ke Srilangka. Morat-maritnya keuangan VOC membuat Belanda dengan keras menekan Pakubuwana memenuhi janji-janjinya untuk membayar ongkos perang. Hal ini membuat raja menjalankan politik ekonomi yang ketat terhadap rakyatnya. Kerja paksa menyeSastra dan Perkembangan Politik di Jawa Abad XVIII Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 245 babkan ketidakpuasan di kalangan rakyat; terjadi migrasi besar-besaran meninggalkan kraton ke daerah pantai. Para bangsawan dan pejabat daerah menjadi anti-raja. Kedudukan raja menjadi goyah terlebih dilihat dari dunia tradisi. Kraton didirikan oleh VOC, sementara pusaka kerajaan dibawa lari oleh Amangkurat III. Berbagai usaha dilakukan oleh raja Pakubuwana I ini untuk memperkuat diri di bidang spiritual tradisional dengan hasil yang kurang memuaskan. Timbul berbagai gerakan pengacau keamanan pada berbagai lapisan sosial, baik yang didorong oleh putra-putra raja sendiri maupun yang dipimpin oleh rakyat kebanyakan. Algojo dan hukuman yang kejam tampaknya tidak juga dapat meredam ketidakpuasan di kalangan rakyat. Ketika raja wafat, putra mahkota menggantikannya dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senapati ing Ngalaga, Ngab - durrahman, Sayidin Panatagama; pemberontakan meletus di berbagai daerah. Campur tangan Belanda juga tidak berhasil menenangkan kerajaan. Tahun 1726, raja wafat diracun orang. Putra mahkota yang baru berusia 16 tahun diangkat sebagai raja bergelar Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama dan berada di bawah pengaruh kuasa ibunya, Ratu Amangkurat. Kraton dan VOC semakin erat, sistem kolonial berjalan secara efektif. Keadaan ini menyebabkan raja semakin ditinggalkan oleh para bangsawan. Laskar pemberontak Cina yang terdiri dari para pengusaha dan pedagang dari Batavia yang menjalar ke timur akan dimanfaatkan oleh raja untuk membebaskan diri dari tekanan VOC. Namun, sikap raja yang tidak tegas dalam melawan Belanda menyebabkan para bangsawan bersatu dan bersekutu dengan pemberontak Cina dengan mengangkat cucu Amangkurat II menjadi raja yang terkenal sebagai Sunan Kuning. Persekutuan ini berhasil menghancurkan Kraton Kartasura sehingga Pakubuwana II lari menemui Belanda dengan janji hendak menyerahkan seluruh pantai utara Jawa asal tahtanya dapat kembali. Dengan bekerja sama dengan Madura, Belanda dapat memadamkan pemberontakan Sunan Kuning dan metahtakan kembali Pakubuwana II dengan istananya yang baru, Surakarta. Pertentangan kepentingan politik di antara kelompok -kelompok bangsawan yang dilatarbelakangi kebhinekaan kehidupan budaya, akhirnya, menyeret seluruh kerajaan jatuh ke tangan Belanda. Kraton tidak berhasil mempersatukan kehidupan budaya Jawa karena kesakralan kraton luntur. Kraton Plered telah dihancurkan oleh Trunajaya, Kraton Kartasura dibangun oleh VOC, dan kemudian diserbu oleh VOC juga. Bukanlah tanpa alasan ketika Amangkurat III lari dari kraton, ia membawa pusaka kerajaan; pusaka inilah satu-satunya simbol pemersatu kerajaan yang belum ternoda. Alasan kewibawaan tahta mendorong Pakubuwana I berusaha keras mencari pusaka yang hilang itu. Ketika pencarian pusaka itu mengalami jalan buntu, maka raja ini berusaha memperkuat wibawa spiritualnya dengan cara yang lain. 5. Karya Sastra dalam Tinjauan Sosial Budaya Raja Pakubuwana I memang dihadapkan pada krisis kewibawaan, bukan saja di bidang militer politik dan ekonomi, tetapi terlebih di bidang spiritual tradisional. Maka dari itu, raja berusaha keras untuk memulihkan kewibawaan kratonnya di bidang spiritual. Dalam pandangan Jawa, Kraton Kartasura telah kehilangan keramatnya, bukan saja karena kraton dibangun oleh Belanda, melainkan terlebih karena kraton memberikan peluang hubungan dengan Belanda berkembang dengan intim. Sejak pemberontakan Trunajaya, rupa-rupanya masyarakat telah merasa bahwa daerah bekas kemegahan budaya Hindu-Budha itu tidak cocok lagi untuk menghindarkan urusan kerajaan dari campur tangan asing. Surat Trunajaya, yang menyarankan agar Amangkurat II mendirikan kraton di Majapahit, mencerminkan pendapat masyarakat umum itu. Sudah barang tentu Pakubuwana I juga merasakan kegoyahan Kraton Kartasura dalam pandangan tradisional Jawa. Raja ingin memindahkan kratonnya ke Mataram kembali, yang sudah pasti VOC tidak akan menyetujuinya. Pada tanggal 21 Mei 1709, 6 hari setelah upacara Garebeg Mulud tahun 1633, raja pergi berziarah ke tempat keramat di Pantai Selatan, ke Alex Sudewa 246 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 Pemancingan dan Gua Langse; sepulang dari peziarahan ini, raja menerima saran VOC untuk tidak memindahkan istananya. Hubungan sakral dengan Mataram dicukupkan dengan mendirikan pesanggrahan, dan memindahkan masjid Kraton Plered ke daerah baru lebih ke arah timur yang diberi nama Kartawinata (Ricklefs, 1993: 159). Mencari kembali pusaka yang hilang dibawa Amangkurat III ketika lari dari kraton dan bergabung dengan Surapati juga merupakan perjuangan Pakubuwana I untuk membangun kembali kesakralan istananya. Tanggal 20 Januari 1709, VOC menyerahkan sebuah peti yang dirampas dari Amangkurat III yang mungkin berisi pusaka kerajaan. Peti ini dibuka secara ritual di hadapan para bangsawan. Ternyata sebagian besar palsu, kecuali sebuah gong, dua buah terompet, dan 6 bilah tombak (Ricklefs, 1993: 153). Raja tetap minta kepada VOC agar regalia kerajaan dipulangkan ke Mataram. Pada Mei 1710, VOC menyerahkan sebuah peti yang disegel dan setelah dibuka ternyata berisi keris sebanyak 33 bilah dan 6 bilah tombak; hanya sebilah keris yang dianggap sebagai pusaka (Ricklefs, 1993: 158). Usaha mencari kembali pusaka yang hilang merupakan pekerjaan yang sulit, orang Belanda tidak paham sama sekali, sedang di pihak kraton hanya sedikit orang yang mampu mengetahui keaslian pusaka. Pada waktu pelantikan gubernur jendral A. van Riebeeck tahun 1709, utusan dari Kartasura menyerahkan daftar pusaka yang diperkirakan dibawa oleh Amangkurat III ke Srilangka. Usaha mencari pusaka tidak berjalan lancar, dan rupanya hal ini menjadi ganjalan di hati raja. Ketika putra raja, Pangeran Saloring Pasar, tahun 1714 lari keluar istana dan minta perlindungan Belanda, raja minta agar pangeran ini tidak dibuang ke Srilangka karena dikhawatirkan di sana ia menemukan pusaka Kraton Mataram (Ricklefs, 1993: 163). Usaha membangun kekuatan sakral, yang tidak biasa dalam tradisi Jawa dilakukan oleh raja pada tahun 1715. Pada Februari tahun itu, raja sakit keras, tetapi sembuh kembali. Pada Maret diumumkan secara resmi bahwa putra raja, Pangeran Mangkunegara, diangkat menjadi putra mahkota. Pada bulan September, di tengah bulan Ramadhan, raja mencukur rambutnya disertai upacara. Tembakan salvo meriam Gunturgeni dilepaskan tiga kali dan seluruh rakyat kerajaan ikut bercukur rambut. Upacara bercukur ini diulang lagi pada Februari 1716. Barangkali upacara cukur ini mendahului kebiasaan raja memakai kopiah. Bersamaan dengan upacara cukur yang kedua ini, pohon beringin di tengah alun-alun diganti (Ricklefs, 1993: 164). Di tengah kesibukan menjalankan upacara sakral ritual itu, Ratu Mas Balitar, permaisuri raja pada Juli 1715 menyuruh membangun sebuah karya sastra yang bersumber dari khazanah sastra Melayu, ialah Serat Menak (Poerbatjaraka, 1940: 9). Kegiatan sang permaisuri rupanya luput dari pengamatan Belanda; kegiatan ini tidak terdapat dalam catatan VOC. Jejak kegiatan Ratu berupa naskah yang dikoleksi oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap dibeli tahun 1924 dan diberi nomor BG 613. Naskah menggunakan dalancang Jawi ukuran 24 x 35 cm tebalnya 1.188 halaman. Kondisi naskah sampai saat ini masih bagus, dengan kolophon awal dan akhir dihias sangat indah. Pada kolophon itu ada keterangan bahwa pengerjaan dimulai pada hari Jumat tanggal 17 bulan Rajab tahun Dal dan selesai pada hari Kamis tanggal 1 bulan Dzulhijah, masih dalam tahun Dal, artinya dalam waktu 4 setengah bulan karya yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman itu selesai dikerjakan. Hal yang tidak mungkin, bahkan untuk menyalin pun waktu sesingkat itu tidak mencukupi. Kedua tanggal itu tampaknya dicantumkan dengan pertimbangan lain, untuk memberikan kesan bahwa tahun Dal 1639 kraton sibuk dengan kegiatan spiritual. Bagaimana proses pengerjaan yang sebenarnya, barangkali terletak pada data tentang pegawai yang diberi tugas oleh permaisuri. Kalimat terakhir naskah BG 613 ialah kang anurat Carik Narawita, ingkang mantu Ki Carik Waladana. Tepatlah terjemahan yang diusulkan Brakel dalam dalil disertasinya, kata mantu bukanlah berarti ?putra menantu? melainkan ?membantu?, sehingga terjemahan yang diusulkan Brakel adalah ?yang menulis Carik Narawita, dengan dibantu Carik Waladana? (Brakel, 1975; Ricklefs, 1993: 347). Terjemahan ini lebih mendekati maksud naskah. Sayang bahwa Brakel tidak terbiasa dengan susunSastra dan Perkembangan Politik di Jawa Abad XVIII Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 247 an sintaksis Jawa yang ada dalam kalimat itu. Kalimat itu sebaiknya diterjemahkan: ?yang menulis Carik Narawita, yang menjadi pembantu Carik Waladana?. Struktur kerja sama semacam ini barangkali dapat menjelaskan proses penulisan Serat Menak yang dikerjakan dalam waktu yang amat singkat. Carik Waladana ini pada tahun 1710 ? dalam catatan Belanda disebutkan namanya Nalladana, berkedudukan sebagai seorang juru bahasa kraton - membuat kesalahan surat menyurat antara kraton dan VOC karena kebanyakan minuman keras. Akibatnya, ia dipecat dari pekerjaan sebagai juru bahasa. Keahlian sebagai seorang penulis, yang menguasai berbagai bahasa asing, tentu amat langka pada zaman itu. Kemungkinan sejak dipecat sebagai juru bahasa resmi di kraton untuk urusan politik, permaisuri memanfaatkan keahlian cendekiawan yang namanya telah tercemar ini untuk kepentingan lain, ialah mengerjakan Serat Menak dari babonnya Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu. Bagi seorang juru bahasa kraton yang berpengalaman sudah barang tentu Ki Carik Waladana ini di dalam menerjemahkan sebuah karya sastra tidak mengalami kesukaran yang berarti. Tampak wajar juga apabila Serat Menak setebal 1.188 halaman ini hasil terjemahan seorang cendekiawan kraton, seorang peminum, yang dilindungi dan disponsori permaisuri, berlangsung dari tahun 1710 sampai tahun 1715. Nama carik Narawita baru ditampilkan kemudian, kemungkinan hanyalah sebagai pendamping cendekiawan yang namanya telah cacad lima tahun yang lalu, bersopan santun sebagai pembantunya, yang sebenarnya berlaku sebagai pembuat karya terjemahan itu. Pekerjaan alih bahasa mantan juru bahasa resmi Kraton Kartasura ini sudah barang tentu berdasarkan suatu strategi budaya yang terencana. Pada halaman pertama naskah, dicantumkan surat Al-Fatikhah yang ditulis dengan huruf Jawa (Poerbatjaraka, 1940: 30). Dengan cara itu ditegaskan bahwa karya sastra yang digarapnya bersifat Islam meskipun konteks budaya Jawa tidak diabaikan. Sayang bahwa halaman pertama yang masih dibaca oleh Poerbatjaraka tahun 1940 kini telah hilang. Di dalam teks selanjutnya, kata Allah hampir tidak pernah dipakai; pengertian Tuhan dirumuskan dalam bahasa Jawa; Yang Sukma, Yang Agung, Pangeran, Yang Kang Wasesa, atau kata Yang saja. Penonjolan budaya Jawa sudah tampak jelas pada lima bait yang pertama sebagai berikut:. Ingsun amimityamuji, Aku mulai dengan memuji anebut namaning Suksma, menyebut nama Suksma kang murah ing dunya reke, yang murah di dunia ingkang asih ing aherat, yang pengasih di akhirat langgeng maha balaba, selalu bersifat murah angganjar ing kawlas ayun, memberi rezeki orang miskin angapura ing dodosan. memaafkan orang berdosa. Sasampuning muji Yang Widi, Setelah memuji Yang Widi amuji Nabi Muhammad, lalu memuji Nabi Muhammad kalawan kulawargane, dengan kerabatnya kang sinucekaken ika, yang disucikan kang sinung kanugrahan, dan diberi anugerah lan sakathahe kang anut, dan segala pengikut mring sira Nabi Muhammad. kepada Nabi Muhammad. Sampuning mangkana singgih, Setelah demikian sakathahe kang amaca, maka semua yang membaca miwah kang miyarsa reke, dan yang mendengar dipunsami angapura, hendaknya memberi maaf sastra bangga tur kithal, atas sastra yang kaku dan tidak enak nanging paksa milyangapus, meskipun memaksa diri ikut menulis anembangaken carita. melagukan ceritera. Duk kala wiwit tinulis, Ketika mulai menulis Alex Sudewa 248 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 anuju dina Jumahat, pada hari Jumat ping pitu welas tanggale, tanggal tujuhbelas sasi Rajab tahun Edal, bulan Rajab tahun Dal Marakeh mangsa Kasa, Marakeh masa Kasa lenging welut rasa purun, lubang belut merasa berani sangkalane duk ingetang. itulah bilangan sangkala. Anenggih kitab puniki, Adapun kitab ini kang yasa Kangjeng Ratu Mas, adalah hasil karya Kangjeng Ratu Mas Balitar ing kakasihe, Balitar. Itulah gelarnya kang grewa Kangjeng Susunan, ia isteri Kangjeng Susunan Ratu Pakubuwana, Ratu Paku Buwana. carita Menak ingapus, Ceritera Menak ini ditulis atembang Asmaradana. dengan tembang Asmaradana. Kolophon akhir memberitakan tanggal dan para penulisnya, Titi tamat kala sampun sinurat Telah sudah ditulis ing dinten Kemis sasi Dulhijah pada hari Kamis bulan Dulhijah ing tanggal pisan ing tahun Edal, tanggal satu, tahun Dal ing wayah enjing ing mangsa kalima, di waktu pagi, masa yang ke lima ing wuku warigalit, wuku Warigalit. kang anurat Ki Carik Narawita, Adapun yang menulis Carik Narawita ingkang mantu Ki Carik Waladana. yang membantu Carik Waladana Kata-kata yang dipakai untuk Tuhan dan Nabi dengan segala sifatnya jelas-jelas diusahakan agar pengertian dari kepercayaan Islam mengandung nuansa Jawa. Nuansa Jawa ini akan lebih dipertegas dengan pemaparan tentang waktu meskipun aneh bahwa hari pasaran tidak dipaparkan. Di samping nuansa Jawa, nuansa Melayu tampak sengaja diberi tempat dalam karya terjemahan ini. Kata-kata dari bahasa Melayu dipakai dalam teks: 1.38 : wonten malige satunggal 2.41 : tumpesen denemu 4.30 : nyata rika ingkang angambil 4.41 : kecapira wong menak 4.85 : angalap dhaon pisang 6.22 : tumulya Ambyah dipunberi 6.49 : hantu apa sira anglinggihi arta 6.73 : sasampune Islam sami asowara 7.6 : sasampune baresih 7.13 : medal dhumateng ing jawi 7.29 : lampahe saparti angin 8.40 : pasthi mati sira Ambyah ing deneku Bahkan dipakai juga kutipan dari bahasa Parsi: 76.18 : ??. sampuning kabonda ngidung Raja Kajun, pan asanget sukanira, angidung cara Parasi // 76.19 : mitang lekar dhangdhangija, jahan solepan tegese puniki, karatone donya iku, datan luwih Suleman, Kursining ejin Suleman kang alungguh // Jalan cerita Serat Menak BG 613 itu sejajar dengan jalan cerita Hikayat Amir Hamzah yang diringkas oleh Van Ronkel dalam disertasinya (1895). Kata-kata Melayu yang dipakai kembali di dalam terjemahan, selain memperkuat bahwa induknya adalah Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu, memperlihatkan juga strategi budaya penerjemah. Tampak bahwa dalam diri penerjemah terkandung maksud agar cakrawala pengetahuan para pembaca diperluas. Kutipan kalimat dari bahasa Parsi lebih memperkuat sikap penerjemah itu. Strategi budaya yang terungkap di dalam kegiatan terjemahan ini merupakan strategi budaya kraton yang dijalankan oleh permaisuri. Apabila kegiatan sastra ini diletakkan dalam konteks kegiatan-kegiatan budaya yang lain yang dilakukan oleh raja, ialah mencari kembali pusaka kerajaan yang hilang, berziarah ke tempat-tempat keramat di Mataram, disertai pembuatan pesanggrahan dan pemindahan masjid PleSastra dan Perkembangan Politik di Jawa Abad XVIII Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 249 red, upacara pencukuran rambut dan pemakaian kopiah, maka tampak jelas bahwa kraton berusaha mencari perpaduan antara budaya luar yang sedang masuk ? Melayu, yang tersebar di sebagian Nusantara ? dengan Islam dan Jawa-Hindu-Budha. Katakata Belanda, yang sudah pasti dikenal cukup luas oleh para cendekiawan bahasa tingkat istana, sengaja tidak dimasukkan dalam karya terjemahan ini. Ini berarti kraton hendak menunjukkan kubu-kubu politik yang anti-kraton bahwa dirinya tidak akan melibatkan Belanda di dalam kehidupan budayanya. 6. Kesimpulan Raja Pakubuwana I tidak bertindak sebagai seorang pujangga seperti para ahli warisnya di kemudian hari. Namun, pihak kraton telah mulai berusaha untuk memanfaatkan karya sastra bagi kepentingan strategi budaya mereka. Permaisuri raja tampil untuk menunjukkan bahwa kraton masih berwibawa di bidang spiritual, dengan memadukan budaya Nusantara dengan budaya Jawa tradisional. Gerak budaya kraton semacam ini menjadi pegangan Pakubuwana I yang menggelari dirinya bukan hanya Senapati ing Ngalaga (perwira di medan perang), melainkan juga Sayidin Panataga (bangsawan iman, pengatur hidup keagamaan). Barangkali Pakubuwana belum merumuskan secara jelas dan tegas apa yang menjadi tugasnya sebagai Panatagama itu. Ahli warisnya di kemudian hari, raja Pakubuwana IV (1780-1820), merumuskan tugasnya dalam Serat Wulang Reh, ngrumpaka basa kang kalantur, tutur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita (mengumpulkan ajaran yang tersesat, tradisi yang diabaikan, itu semua akan ditelusuri dengan cermat, agar maknanya menjadi jelas) (Darusuprapta, 1982: 65) Di kemudian hari lagi, Mangkunegara IV (1853-1881), dalam karyanya Serat Wedhatama, merumuskan bahwa kewajibannya adalah mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji, (agar berkembang pelaksanaan ilmu luhur, yang diterapkan di dalam budaya Jawa, sehingga menjadi tradisi pegangan para raja) (Robson 1990: 20) Dari para ahli warisnya itu, jelas bahwa gelar Panatagama akan berkembang menjadi pengatur strategi kehidupan agama. Meskipun Pakubuwana I sebagai pemakai gelar yang pertama belum merumuskan tugasnya, kegiatannya dalam kehidupan budaya telah mengarah ke arah pengertian itu. Jelas -jelas bahwa raja dan kraton telah mengambil alih tugas intelektual spiritual yang di alam budaya Jawa Hindu berada di tangan kaum pendeta dengan tugas memperkuat raja dengan magi sastranya. Ruparupanya kedudukan Panatagama ini terpaksa direbut oleh raja sebab sejak akhir zaman Majapahit di Jawa berkembang sektesekte tasawuf yang saling bertentangan. Tampaknya sekte-sekte ini mempunyai pengaruh bagi timbulnya kubu-kubu politik dan makin lama makin mengancam persatuan kerajaan. Pangeran Dipanegara, putra Pakubuwana I dari garwa pangrembe, yang memberontaki ayahnya dan juga penulis naskah Dharma Sunya Keling, adalah suatu kasus yang jelas seorang pemimpin sekte tasawuf yang sekaligus memimpin kubu politik. Catatan: 1. Di Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta, Florida (1993) dan Lindsay (1994) juga tidak mendapatkan naskah dari zaman Kartasura. 2. Pangeran Dipanegara, putra Pakubuwana I, membuat masalah karena mengumpulkan orang-orang Bali di kediamannya, dimaafkan oleh raja tahun 1714. Di dalam naskah Serat Dharma Sunya Keling yang disalinnya tahun 1716 dia menyatakan diri keturunan dari bangsawan Tuban, bernama Bima Cili. Ricklefs menyangsikan asal Tuban itu sebab Alex Sudewa 250 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 Bima Cili adalah bangsawan Blambangan. Dia membawa laskar dengan senjata api dan memberontak dengan harapan hendak mengusir Belanda. Pengikutnya mengangkat Dipanegara sebagai raja bergelar Panembahan Erucakra. Di dalam Ramalan Jayabaya gelar ini adalah gelar untuk Ratu Adil (Ricklefs, 1993: 179-180). Pangeran ini sadar bahwa pada zaman itu berbagai macam gerakan harus disentralisasi dari berbagai kubu kepercayaan dan politik (Islam, Jawa Hindu, Bali, dan gerakan ratu adil) dibentuk untuk mengusir Belanda. 3. Perunutan sejarah ini diambil dari Ricklefs (1993); penyimpangan dan tambahan diberi rujukan. Kesalahan dalam perunutan adalah tanggung jawab penulis. 4. Gelar Sayidin Panatagama diambil Ricklefs dari Babad Sangkala yang ditulis di kemudian hari. Penulis babad menambahkan gelar itu pada setiap raja Jawa. Dari catatan Belanda yang dikumpulkan oleh de Graaf (1953) ternyata gelar Sayidin Panatagama dipakai pertama kali oleh Pakubuwana I. Seorang Belanda anggota komite untuk urusan pribumi bernama Hendrik van der Horst tahun 1710 menulis gelar raja: Soesoehoenan Pacoeboewana Senepatty Ingalaga Abdoel Rachman Salidin Panatagama. Raja-raja Jawa sebelumnya tidak memakai gelar itu. 5. Periksa catat an 4. DAFTAR PUSTAKA Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskahnaskah Nusantara. Jilid I. Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan ???. 1993. Manuscript Production in Nineteenth-Century Java, Codicology and the Writing of Javanese Literary History. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149. Brakel, Lode Frank (ed.). 1975. The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: A medieval Muslim Malay romance. ?s-Gravenhage: H.L. Smits. Carey, Peter. 1986. Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Luk isan Raden Saleh. Jakarta: Pustaka Azet. Darusuprapta. 1982. Serat Wulang Reh Anggitan Dalem Sri Pakubuwana IV. CV. Surabaya: Citra Jaya. de Graaf. 1953. Titels en Namen van Javaanse Vorsten en Groten uit de 16e and 17e Eeuw. Bijdragen Taal-, Land-, en Volkenkunde 109. ???. .1986. Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Grafiti Pers. ???. 1987a. Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. ???. 1987b. Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Jakarta: Grafiti Pers. de Graaf H.J. dan Pigeaud Th.G.Th. 1982. Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries. Monash Paper on Southeast Asia no. 12. ???. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. Drewes, G.W.J. 1974. ?Ranggawarsita, The Pustaka Raja Madya and the Wayang Madya.? Orient Extremus , vol. 21. No. 2. pp. 199-215 Florida, Nancy K. 1993. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts. Volume I. New York: Southeast Asia Program Cornell University. Ithaca. Hall, D.G.E. 1955. History of Southeast Asia. New York: Mac-Millan and Co. Ltd. London. Houben, Vincent J.H. 1982. Kraton and Kumpeni. Surakarta and Yogyakarta 1830-1870. Leiden: KITLV Press. Van Groenendael, Victoria M. Clara Sastra dan Perkembangan Politik di Jawa Abad XVIII Humaniora Volume XIII, No. 3/2001 251 ???. 1982. The Dalang behind the wayang. Verhandelingen Koninklijk Institut 114 Kuntara I.,Wiryamartana. 1990. Arjunawiwaha. Transformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Lindsay, Jennifer, Alan Feinstein and R.M. Soetanto. 1993. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid 2: Kraton Yogyakarta. terj. T.E. Behrend dan R.M. Soetanto; disunting oleh T.E. Behrend. Jakarta: Obor. Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java. Volume I. Synopsis of the Javanese Literature 900-1900 AD. The Hague: Martinus Nijhoff. ???. 1967. Literature of Java. Volume II. Descriptive of Javanese Manuscript . The Hague: Martinus Hijhoff. Poerbatjaraka. 1933. Nitisastra, Oud-Javaansche Tekst met Vertaling. Bibliotheca Javanica 4. ???. 1940. Beschrijving der Handschriften. Menak. Bandoeng: A.C. NIX & Co. Remmelink, W.G.J. 1990. ?Emperor Pakubuwana II, Priyayi & Company and the Chinese War.? Disertasi Universitas Leiden (belum diterbitkan). Ricklefs, M.C. 1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java. London. ???. 1978. Modern Javanese Historical Tradition. A Study of an Original Kartasura Chronicle and Relates Materials. London: SOAS. Univeraity of London. ???. 1990. Sejarah Indonesia Modern. terj.: Dharmono Hardjowidono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ???. 1990. War, Culture and Economy in Java 1677-1726. Asian and European Imperialism in the early Kartasura Period. Sydney: ASAA Southeast Asia Publication Series. Allen & Unwin. Robson, S.O. 1981. ?Java at the Crossroad. Aspects of Javanese Cultural History in the 14th and 15th Centuries.? Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 135: 258-292 Robson, Stuart. 1990. The Wedhatama. An English Translation. Leiden: KITLV Press. van Groenendael, Clara. 1982. Dalang Di balik Wayang. Jakarta: Grafiti Press. van Ronkel, Ph.S. 1895. De Roman van Amir Hamzah. Leiden: Ej Brill. Sudewa, Alex. 1993. Dari Kartasura ke Surakarta: Studi Kasus Serat Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia. Soedarsono, R.M. 1982. Wayang Wong. The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sunjata, Pantja I.W., Ignatius Supriyanto, dan J.J. Ras. 1990. Babad Kraton. Sejarah Kraton Jawa Sejak Berdirinya Kartasura sampai Perang Cina. I, II. Jakarta: Djambatan. Teeuw, A. dan Th. P. Galestin, S.O. Robson, P.J. Worsley, P.J. Zoetmolder. 1967. ?Siwaratrikalpa of mpu Tanakung.? Bibliotheca Indonesica 3. Zoetmulder, P.J. 1982. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.